Postingan

Teruntuk Engkau yang Kunamai Kekasih

Teruntuk Engkau yang Kunamai Kekasih Pada senja tempat  kita mengeja, aku selalu datang dengan rasa yang purba. Dengan segala renjana yang kudus. Kadang kelopak mata menjurai rinai, mencipta bias kala kebengisan jarak yang kita sebut rindu menjadi rapalan-rapalan yang ingin segera berlalu. Dan … lagi lagi yang kita lakukan adalah menjadikannya sebagai  senja yang tabah pada mata kita. Bagaimana denganmu disana? Apakah rasamu sama seperti yang kukepal? Pada malam yang membentuk sunyi paling sepi, dalam ruang yang memetakkan kita masing-masing. Kita mulai menggantungkan harap pada setangkup tangan yang kita tengadahkan dengan penuh sungguh. Bukankah  itu hal yang manis untuk kita saling sampaikan rindu, Kasih? Meski telinga kita tak mendengarnya, meski mata kita tak melihatnya, tapi apa yang disampaikan hati kepada-Nya, itu membuhul  kita meretas jarak yang ada. Lalu kesetiaan? Apalagi yang kau sangsikan, bila kita sudah sama-sama yakin tentang harum anyelir yan...

DESEMBERKU YANG BASAH

Kasih, kau tanya padaku apakah aku resah perihal itu. Seharusnya kau tak tanyakan itu, seharusnya kau tahu bagaimana masygulnya aku menjadi bagian puzzle yang harus melengkapi kehidupanmu. Yang masih musykil bagiku. Mencoba memantaskan diri, dengan bagian-bagian puzzle yang kau susun. Namun ... bagaimana aku memantaskan diri jika  ada bagian puzzle yang tak kutahu. Apakah memang akunya saja  yang tak bisa memantaskan diri? Pada Desember pagiku yang basah, pada setiap rinai yang membuat gigil. Aku hendak menjadi keping puzzle yang tak berbentuk. Entah harus aku  letakan dimana keping ini. Haruskah kubiarkan ia menggenang sampai lapuk, lalu larut bersama rinai? Pagi ini mentari tampak sendu, kasih.  Semilir bayu jadikan gigil jadi beku. Seperti kebekuan hati yang tak punya daya untuk menyeka mata air yang sedari tadi mengalir. Kasih ... bukankah kita sudah sama rasa, tapi mengapa kita masih saja saling menebak harum anyelir yang kita tanam? Bila begitu ...  ...

Diam Dalam Duka

Diam Dalam Duka Diam diam ada duka Duka dalam diam Dalam diam duka diam Daiam duka jadi dalam Dalam duka makin diam Duka-duka saling diam Diam-diam Duka duka Dalam dalam Dalam duka diam Diam duka dalam Diam dalam duka IM, 111015

Senja

Gambar
Kau tahu, Sukab? Aku ingin mengambil senja sama seperti    yang kau lakukan dan kau berikan kepada Alina. Tapi aku tak   bungkus senja itu dengan amplop. Aku masukan ia dalam tas, sebab tas jauh lebih tebal daripada amplop hingga aku pikir barangkali   cahayanya akan lebih tidak terlihat. Namun aku takut, jika harus mengalami seperti yang terjadi setelah kau mengambilnya. Gelap. Lalu para polisi mengejarku.   Dan ... bagaimana dengan para penikmat senja yang lain? Itulah yang beda dari kita Sukab, kau tak pernah memikirkan mereka. Kau hanya berpikir bahwa senja adalah sesuatu yang bagus untuk kau berikan kepada Alina. Kau tak pikirkan apa akibat dari itu bukan? Maka akan aku ceritakan kepadamu. Setelah kau mengambilnya, banyak air mata yang mengalir   merasa kehilangan senja yang selama ini selalu mereka nanti. Kaki cakrawala di barat yang biasanya kemerah-merahan, hanya tampak gelap. Aku tak mau di balik kebahagiaanku mendapatkan senja, du...
MENANGISNYA SANG PERINDU   Dera dunia menghantam atma Mengoyak-ngoyak penuh nista Meraba diri ternyata nyata Seonggok daging telah terluka   Lalu kuderu doa-doa Padamu sang pencipta segala rasa Apakah masih ada surga? Untuk jiwa yang telah lupa Atau neraka-Mu telah terbuka Menanti datangnya sang pendusta   Tuhanku …. Dalam hamparan sajadah ini Lautan air mata membanjiri Maghfiroh-maghfiroh-Mu selalu dinanti Bagi jiwaku yang hampir mati   IM, 270815  
Gambar
RASA Aku senang mengejamu. Dan setiap yang didapat dari mengeja adalah rasa. Entah sudah berapa banyak yang kudapat; tak terhitung. Namun karena terlalu sering aku mengeja, aku lupa. Aku selalu tinggi menaksir harapan. Tanpa pernah mengukur ketakutan. Akhirnya, rasa yang semakin membesar itu pecah. Kau tentu tahu lagu anak-anak ‘balonku’ bukan? Seperti itulah . Tiap buncah dari letupannya menjadi rinai. Lalu menjelma serupa anak-anak panah yang siap menuja hati. Dan pada merahnya hati pulalah kukembalikan rasa. Sebab, disana ada bejana yang menjadi ujung dari segalanya. 2017

Puisi

ELEGI SEORANG ISTRI (Oleh : Esi Sunny)  Oh suamiku Apakah engkau lupa? Tentang jenjimu kepadaku Tentang janjimu kepada orang tuaku Terlebih janjimu kepada Tuhan Apakah kau lupa dengan semua itu? Saat kau minta aku untuk tinggal satu atap Dalam ikatan yang sah di mata Tuhan Dan tercatat dalam catatan Negara Pernahkah kau tahu wahai suamiku? Bagaimana rupa hatiku saat tanganmu menyentuhku dengan kasar Yah! Hatiku tak berbentuk Hatiku tak lagi punya rasa Ia seperti seonggok debu halus yang tak lagi punya tujuan Apalagi kau lakukan itu di depan anak-anakmu Terlalu sering  kau pecahkan kaca dalam mataku Kau pukul aku seperti boneka mainan Mengatakanku dengan sebutan-sebutan yang sangat mengerikan (anjing, bajingan …) Kau tahu wahai suamiku? Terkadang aku menyesal Mengapa dulu aku menikah denganmu Tapi … mungkin inilah jalan takdirku Jika aku pisah atap denganmu Lalu bagaimana dengan anak-anak kita Lihatlah kelima anakmu...